Tokoh yang kerap kali muncul di media membela hak anak-anak ini lebih
akrab dipanggil Kak Seto. Ia lahir bukan dari keluarga ningrat yang serba
kecukupan. Bukan pula dari keluarga terkenal yang bisa mendongkrak popularitas
layaknya tokoh-tokoh lain. Kak Seto mampu mebuktikan kepada publik, bahwa ia
menjadi tokoh lantaran Keihlasan dan konsistensinya dalam memilih jalan hidup.
Penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri pernah diraihnya. Hingga saat
ini, tak seorangpun meragukan kegigihan perjuangannya dalam membela hak
anak-anak.
Di wajahnya, kak Seto selalu menebarkan senyum. Puluhan wartwan
ia layani dengan sepenuh hati. Orang dewasa saja merasa senang dengan gaya Kak
Seto yang bersahabat, apalagi anak-anak.
Figur, gaya, keihlasan dan karakternya memang sangat cocok dengan dunia
anak-anak. Apa yang dimiliki Kak Seto semua mendukung citranya bergelut di
dunia anak-anak. Belum nampak sosok yang lain seperti Kak Seto yang peduli
dengan dunia anak-anak. Kalaupun ada, mungkin hanya sosok dermawannya yang
menonjol, tetapi belum tentu figurnya mendukung untuk mencintai anak-anak.
Kalau Kak Seto, semua yang ada pada dirinya memang betul-betul medukung.
Kisah Perjalanan Hidup Kak Seto
Menyimak jalan hidup Kak Seto memang penuh aral melintang. Masa kecilnya
memang dilalui dengan keceriaan, bernaungkan kasih sayang dari kedua orang tua
yang teramat perhatian. Sang ibu, Mariati, begitu sabar mencurahkan cahaya
kasih, benih nilai-nilai moral yang ditanamkan oleh bunya kelak menjalar
menghiasi tingkah laku Figur kelahiran Klaten 28 Agustus 1951 ini.
Namun keadaan tersebut tidak berlangsung lama. Keluarga Kak Seto ditempa
tantangan hidup yang maha berat, terutama saat ia harus mempertahankan pendidikan
setelah ayahnya, Mulyadi Effendi, meninggal.
Saat itu, Kak Seto berusia 15 tahun, nasibnya memang benar-benar
bak di bawah kolong jembatan. Kepergian ayahnya yang begitu cepat membuat roda
ekonomi keluarganya berubah seratus delapan puluh derajat. Dari kecukupan
menjadi serba kekurangan.
Musibah boleh saja datang, namun, putus asa tidak boleh mendera terlalu
lama. Kak Seto merantau ke Surabaya, di asuh oleh bibinya, Martiningrum.
Syahdan, berkat bantuan seorang pastur, ia berhasil masuk di sekolah orang
gedongan, SMA St. Louis. Ia sangat bersyukur bisa diterima, kendati ia merasa
sedih.
Bagi Kak Seto, pertolongan bibi dan menjadi siswa SMA St. Louis bukanlah
pil mujarab yang bisa mengubah nasibnya. Namun, Kak Seto sadar dua hal ini bisa
menjadi titik awal perjuangaanya merubah nasib. Surabaya menjadi lapangan untuk
menempa ilmu dan pengalaman, serta tempat untuk mengawali perjuangan.
Pertama masuk SMA, Kak seto dan saudara Kembarnya, Kresno, menggunakan
celana pendek, seragam mereka sewaktu di SMP, “maklum saat itu saya belum mampu
membeli seragam” tutur Kak Seto. Meskipun demikian, Kak Seto tidak menjadi
rendah diri dan tetap menjaga harga diri.
Figurnya yang bersahabat membuatnya cepat menyesuaikan diri dengan
khalayak, dalam waktu singkat saja, Kak Seto sudah mempunyai banyak sahabat. Ia
mudah bergaul, sehingga disukai banyak teman-temannya. Wajar saja jika ia
berhasil merebut kursi nomor satu di organisasi sekolah, Kak Seto berhasil
menjadi ketua OSIS, sedangkan saudaranya menjadi sekretarisnya.
Setiap hari, Kak Seto pulang dan pergi ke sekolah berjalan kaki. Jangankan
untuk transport, uang jajanpun tak ada. Saat semua temannya asyik menikmati
makanan di kantin, Kak Seto hanya bisa melihat mereka sambil menahan lilitan
perut yang keroncongan. Saat bel masuk berbunyi, terkadang banyak sisa bakso
dan makanan ringan yang tidak dimakan oleh pemiliknya “saya langsung
menghampiri sisa bakso itu, dan langsung melahapnya, terkadang penjual memberi
tambahan sedikit” Kak Seto mengaku.
Uang hasil kerjanya tidak cukup untuk membeli bakso. Sembari sekolah, Kak
Seto bekerja sebagai pedagang asongan, penjual koran, tas anyaman dan balon.
Kak Seto bersedia bekeja apapun asalkan halal dan bisa sambil bersekolah.
Selain berdagang, Kak Seto juga produktif menulis rubrik khusus bagi anak-anak
majalah Bahagia dan majalah Kuncung. Dalam tulisan-tulisannya,
ia selalu menggunakan nama “Kak Seto”. dari situlah nama Kak Seto lebih dikenal
dari nama aslinya, seto Mulyadi.
Di Surabaya Kak Seto tumbuh sebgai remaja yang sudah biasa tertempa tahan
dengan segala kesulitan dan penderitaan. Ia merasa ketegaran dan daya juangnya
yang tak kenal lelah menghadapi berbagai rintangan berkat dorongan Ibunya. Saat
ditanya siapa yang paling berpengaruh dalam pembetukan karekternya itu, Kak
Seto menjawab “Ibu dan Soekarno”.
Merantau Ke Jakarta
Sifat pantang menyerah ini terus terbawa hingga dewasa. Setelah lulus dari
SMA, Kak Seto mencoba mengais rejeki di Jakarta. Ijasah SMA dan uang honor
tulisan menjadi modal, sedangkan semangat dan do’a menjadi bekal.
Hijrahnya ke Jakarta, 27 Maret 1970, seolah menjadi hari lahir yang kedua
baginya. Disana ia menaruh harapan dapat merubah nasibnya. Kak Seto tidak ingin
keturunannya nanti tertempa derita bukan kepalang seperti dirinya saat ini.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Barangkali begitulah
perumpamaan yang tepat bagi Kak Seto. Di Ibukota, ia menyusuri perkantoran Jl
Thamrin dan Jl Sudirman. Puluhan kantor ia masuki dengan berjalan kaki
bertemankan kucuran keringat dan terik matahari. Berharap ada lowongan, namun
semua itu hanya utopia belaka. Ibukota memang kejam.
Hingga suatu saat, ia menemukan pekerjaan senbagai tukang parkir di Blok
M. Profesi ini ia jalani dengan sabar dan tekun, meskipun kulitnya semakin
terbakar oleh matahari, belum lagi menghadapi ulah preman yang selalu
menggangunya. Selain tukang parkir, Kak Seto juga pernah menjadi kuli bangunan.
Kegigihan Membela Hak Anak
Kecintaan Kak Seto terhadap dunia anak sebenarnya sudah lama tertanam
dalam dirinya, ketika ia mendapat seorang adik, Arief Budiman. Namun sayang,
adik tercintanya berusia singkat. Hingga suatu saat, ia bertemu dengan pak
kasur. Kak Seto sengaja menemuinya setelah melihat acara televisi yang
dipandu oleh Bu kasur. Setelah bertemu, “saya ingin membantu bapak meskipun
tanpa di gaji” tutur kak seto. Akhirnya pada tanggal 4 April 1970, ia resmi
membantu kegiatan Pak Kasur.
Pada tahun 1972, atas saran pak Kasur, ia mendaftarkan diri di Fakultas
Psikologi UI. Tak disangka, ia diterima dan jadilah Kak Seto menjalani
hari-harinya sebagai seorang mahasiswa. Selain kuliah, menjadi guru TK, ia juga
mengasuh anak majikannya serta menjadi pembantu keluarga Soeksmono
Martokoesoemo.
Kecintaannya terhadap anak semakin meningkat bersamaan dengan ilmu yang ia
timba dari UI. Saat menjadi mahasiswa baru, ia dinobatkan sebagai “mahasiswa
yang paling disukai’, mengalahkan saingan-saingannya yang lebih senior. Hal ini
membuktikan pribadi Kak Seto yang supel dan mudah bergaul.
Setahun setelah diwisuda, 16 Juni 1982, Kak Seto mendirikan TK. Mutiara
Bangsa di Jl. Muhammad Yamin no 45 Menteng. Begitu tahu yang mengelola sekolah
tersebut Kak Seto, maka mereka yang tinggal di kawasan Menteng berlomba-lomba
memasukkan anaknya ke TK Mutiara bangsa.
Belum puas hanya di situ, Kak Seto menggagas Istana Anak-Anak Indonesia (Children
Center) di TMII. Kak Seto tidak menyangka, proposalnya akhirnya disepakati oleh
Ibu Tien Soeharto. Kemudian Kak Seto diangkat sebagai penanggung jawab
pembangunan tersebut. Dan pada tahun 1986 diresmikan oleh presiden Soeharto.
Puncak kariernya semakin melejit setelah Kak Seto terpilih menjadi Ketua
Umum Komnas Perlindungan Anak. Sedikitpun tidak pernah terbesit, kak seto
memenangkan pemilihan ketua bergengsi tersebut. Ia dicalonkan secara mendadak
oleh UNICEF, bersaing mengalahkan Arist Merdeka Sirait, DR, Nafsiah Mboy, Dr.
Suryono, MPh. Meskipun demikian, ia tetap rendah hati.
Dunia telah menjadi saksi dua hal atas diri Kak Seto. Pertama, ketabahan
dan semangatnya menghadapi hidup. Kedua,kegigihan dan konsistensinya
membela hak anak. Kak Seto terus membela anak dan tidak pernah beralih ke dunia
lain yang mungkin lebih banyak memberikan materi.
Saat ini, dunia melihat keberhasilannya. Ia menjadi tokoh pembela hak anak
yang terlahir dari jalanan. Perjuangannya keluar dari tempaan derita membuat
dirinya ramah kepada siapapun, dan bahkan sangat bersahabat. Ketika tabloid Masjid
Nusantara mewawancarainya di atas perahu boat yang melintasi genangan
banjir di komplek perumahannya, semua warga disapa satu persatu dengan senyum
bersahaja nan tulus, tidak senyuman yang dipaksakan seperti calon pejabat di musim
kampanye, bukan pula senyum bernuansa sinis dan arogan demi membangun
citra.(sumber : Tabloid Masjid Nusantara)