Tanggal 21 April, para perempuan dipersada ini ramai-ramai
memakai konde dan kebaya. Para Ibu-ibu yang hobi ngrumpi, arisan dan gosip,
berusaha tampil seanggun mungkin dibalik kebaya dan konde. Sementara mereka
yang sering memakai pakaian yang merangsang (seksi:bahasa gaulnya), turut
memaksakan diri menyerupai pakaian Kartini. Memang kebaya dan konde adalah
pakaian yang sudah ketinggalan zaman, tapi tetap memiliki daya tarik pada hari
tertentu. Para perempuan kemudian menghiperboliskan Kartini, seakan-akan apa
yang didapatkan para perempuan hari ini adalah hasil keringat Kartini.
Adalah pertanyaan besar untuk para perempuan, apakah Kartini
adalah pejuang? Untuk membahas pertanyaan ini, ada baiknya kita kembali ke
sejarah Kartini dan proses pembentukan mitos kepahlawanan yang dilekatkan pada
beliau.
Kartini adalah putri bupati Jepara, dan keluarga besarnya
adalah keluarga bangsawan. Oleh karena itu, Kartini saat masih ABG mendapatkan
akses pendidikan yang besar dibanding perempuan kebanyakan pada zamannya.
Setelah melewati fase pendidikannya, Kartini, sesuai dengan budaya feodal, beliau
dipersiapkan untuk menikah. Olehnya, Kartini diisolasi. Saat seperti ini
kemudian memunculkan kegundahan intelektual dan mencoba untuk berbagi
keresahan. Namun sayang, orang pribumi yang berpikir seperti Kartini sangat
langka pada zamannya
Kartini kemudian berinteraksi secara intelektual dengan para
kolonialis belanda dan menceritakan kegundahannya serta kebobrokan bangsanya.
Karena terisolasi, Kartini berinteraksi melalui surat yang kelak dibukukan oleh
Balai Pustaka dengan judul Habis gelap terbitlah terang.
Dalam kegundahannya, Kartini bercerita tentang
keterbelakangan kaum perempuan dan berharap ada pendidikan untuk kaum
perempuan. Kartini sangat menentang poligami, kawin paksa, dan berbagai sistem
patriarki yang diselubungi budaya feodal.
Setelah meninggal pada tahun 1905, pada tahun 1938, para
kolonialis belanda kemudian mengirimkan kembali surat Kartini kepada penerbit
Balai pustaka untuk dibukukan. Ada rentang waktu 33 tahun bagi kolonialis
belanda untuk membangun pencitraan Kartini setelah kematiannya.
Harus diakui bahwa Kartini memiliki kegundahan intelektual.
Ini wajar terjadi terhadap orang yang pernah merasakan lezatnya dunia
intelektualitas kemudian terisolasi dari dunia intelektualitas. Harus juga
diakui bahwa Kartini memiliki keprihatinan terhadap kaum perempuan. Namun
masalahnya adalah, mengapa Kartini tidak berbuat apa-apa selain berkirim surat
kepada kaum penjajah? Kartini bahkan tidak dapat melawan budaya feodal yang
dibenci. Tokh titel RA masih melekat didepan namanya. Malah ketika dipaksa
menikah, Kartini hanya pasrah pada takdir
Kembali kepertanyaan diatas, jika Kartini memang pejuang,
mengapa Kartini tidak melakukan apa-apa selain bersurat kepada kolonialis? Dewi
Sartika telah membuat sekolah bagi perempuan tanpa harus berguru kepada Kartini
tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Cut Nya Dien, Laksamana
Malahayati, Nyi Ageng Serang, telah menjadi pemimpin perjuangan melawan
kolonialis tanpa berguru kepada Kartini yang nota bene seorang sahabat
kolonialis belanda.
Jika kaum perempuan butuh figur seorang tokoh pejuang
perempuan, mengapa yang difigurkan adalah perempuan lemah tak berdaya seperti
Kartini, bukan perempuan yang heroik seperti Cut Nya dien. Jika kaum perempuan
butuh figur seorang tokoh pendidik perempuan, mengapa yang difigurkan adalah
perempuan yang justru bersahabat dengan penjajah, bukan perempuan yang membuat
sekolah bagi kaum perempuan yaitu Dewi Sartika.
Terakhir, mengapa ultah Kartini mesti dirayakan sebagai hari
perempuan, padahal Kartini sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk
perempuan, bahkan dirinya sendiri. Kartini adalah perempuan lemah tak berdaya
dan bersekutu dengan penjajah, bukan pahlawan. Tapi sayang, dinegara ini status
kepahlawanan tergantung stempel pemerintah, bukan murni perjuangan menentang
kolonialis. Di negara ini, sahabat penjajah diangkat pahlawan dan dirayakan
ultahnya sebagai hari perempuan.
oleh : A. Rahmat. Munawar....