Minggu, 22 April 2012

MENGGUGAT KEPAHLAWANAN KARTINI


Tanggal 21 April, para perempuan dipersada ini ramai-ramai memakai konde dan kebaya. Para Ibu-ibu yang hobi ngrumpi, arisan dan gosip, berusaha tampil seanggun mungkin dibalik kebaya dan konde. Sementara mereka yang sering memakai pakaian yang merangsang (seksi:bahasa gaulnya), turut memaksakan diri menyerupai pakaian Kartini. Memang kebaya dan konde adalah pakaian yang sudah ketinggalan zaman, tapi tetap memiliki daya tarik pada hari tertentu. Para perempuan kemudian menghiperboliskan Kartini, seakan-akan apa yang didapatkan para perempuan hari ini adalah hasil keringat Kartini.
Adalah pertanyaan besar untuk para perempuan, apakah Kartini adalah pejuang? Untuk membahas pertanyaan ini, ada baiknya kita kembali ke sejarah Kartini dan proses pembentukan mitos kepahlawanan yang dilekatkan pada beliau.
Kartini adalah putri bupati Jepara, dan keluarga besarnya adalah keluarga bangsawan. Oleh karena itu, Kartini saat masih ABG mendapatkan akses pendidikan yang besar dibanding perempuan kebanyakan pada zamannya. Setelah melewati fase pendidikannya, Kartini, sesuai dengan budaya feodal, beliau dipersiapkan untuk menikah. Olehnya, Kartini diisolasi. Saat seperti ini kemudian memunculkan kegundahan intelektual dan mencoba untuk berbagi keresahan. Namun sayang, orang pribumi yang berpikir seperti Kartini sangat langka pada zamannya
Kartini kemudian berinteraksi secara intelektual dengan para kolonialis belanda dan menceritakan kegundahannya serta kebobrokan bangsanya. Karena terisolasi, Kartini berinteraksi melalui surat yang kelak dibukukan oleh Balai Pustaka dengan judul Habis gelap terbitlah terang.
Dalam kegundahannya, Kartini bercerita tentang keterbelakangan kaum perempuan dan berharap ada pendidikan untuk kaum perempuan. Kartini sangat menentang poligami, kawin paksa, dan berbagai sistem patriarki yang diselubungi budaya feodal.
Setelah meninggal pada tahun 1905, pada tahun 1938, para kolonialis belanda kemudian mengirimkan kembali surat Kartini kepada penerbit Balai pustaka untuk dibukukan. Ada rentang waktu 33 tahun bagi kolonialis belanda untuk membangun pencitraan Kartini setelah kematiannya.
Harus diakui bahwa Kartini memiliki kegundahan intelektual. Ini wajar terjadi terhadap orang yang pernah merasakan lezatnya dunia intelektualitas kemudian terisolasi dari dunia intelektualitas. Harus juga diakui bahwa Kartini memiliki keprihatinan terhadap kaum perempuan. Namun masalahnya adalah, mengapa Kartini tidak berbuat apa-apa selain berkirim surat kepada kaum penjajah? Kartini bahkan tidak dapat melawan budaya feodal yang dibenci. Tokh titel RA masih melekat didepan namanya. Malah ketika dipaksa menikah, Kartini hanya pasrah pada takdir
Kembali kepertanyaan diatas, jika Kartini memang pejuang, mengapa Kartini tidak melakukan apa-apa selain bersurat kepada kolonialis? Dewi Sartika telah membuat sekolah bagi perempuan tanpa harus berguru kepada Kartini tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Cut Nya Dien, Laksamana Malahayati, Nyi Ageng Serang, telah menjadi pemimpin perjuangan melawan kolonialis tanpa berguru kepada Kartini yang nota bene seorang sahabat kolonialis belanda.
Jika kaum perempuan butuh figur seorang tokoh pejuang perempuan, mengapa yang difigurkan adalah perempuan lemah tak berdaya seperti Kartini, bukan perempuan yang heroik seperti Cut Nya dien. Jika kaum perempuan butuh figur seorang tokoh pendidik perempuan, mengapa yang difigurkan adalah perempuan yang justru bersahabat dengan penjajah, bukan perempuan yang membuat sekolah bagi kaum perempuan yaitu Dewi Sartika.
Terakhir, mengapa ultah Kartini mesti dirayakan sebagai hari perempuan, padahal Kartini sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk perempuan, bahkan dirinya sendiri. Kartini adalah perempuan lemah tak berdaya dan bersekutu dengan penjajah, bukan pahlawan. Tapi sayang, dinegara ini status kepahlawanan tergantung stempel pemerintah, bukan murni perjuangan menentang kolonialis. Di negara ini, sahabat penjajah diangkat pahlawan dan dirayakan ultahnya sebagai hari perempuan.

oleh : A. Rahmat. Munawar....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar