Senin, 28 November 2011

Gudeg terlezat Dunia-Akhirat


Oleh:
-Nurul ifadah-
Yogjakarta, 8 juli 2008
Kelelahanku hari ini kusingkirkan jauh-jauh untuk menyempatkan diri menulis rangkaian kalimat ini. Aku merasa ada hal yang sangat penting yang harus kubagikan kepada sobat muda yang tengah menyempatkan diri membaca tulisan ini. Sesuatu yang ku alami hari ini. Hari dimana aku berada di sebuah hotel berbintang yang menurutku terlalu mewah untuk ditapak oleh kedua kaki kampung dan alas kaki murahan ini. Karena keajaiban Tuhan aku berada disini. Tidak bermaksud untuk pamer, aku berada di sini bukan karena aku kaya raya dan mampu membayar ongkos kamar per malamnya yang menurutku sungguh berada di luar jangkauanku. Aku hanya diutus oleh daerah tempatku bersekolah untuk melanjutkan perjuangan dalam sebuah kompetisi tingkat nasional. Namun bukan itu hal penting yang ingin aku share kepada sobat muda sekalian.
Kemarin aku didatangi oleh tiga orang anak kecil. Mereka sama sekali belum kukenal. Sore hari setelah kegiatan di hotel kemarin selesai, telepon kamarku berdering. Ku pikir itu hanya untuk menanyakan makan malamku. Atau teman-temanku yang iseng nelpon dari kamar lain hotel ini. Tapi ternyata dugaanku salah, yang menelpon adalah resepsionis hotel. Perempuan dengan suara lembut itu memberitahuku bahwa ada beberapa orang yang menungguku di loby hotel. Dari lantai 8 kamar 808 yang kutempati ini aku bergegas turun ke loby hotel. Benakku tak mau kalah untuk menebak siapa yang datang membesukku.  Aku berpikir mungkin kerabat yang berdomisili di Bandung yang jauh-jauh datang ke Jogja untuk membesukku atau teman-teman lamaku yang berdomisili disini yang berkunjung karena tahu aku sedang berada di sini untuk sebuah kompetisi tingkat Nasional. Tapi ternyata aku salah, yang datang justru orang-orang yang belum aku kenal. Mereka adalah anak-anak yang menawarkanku air mineral di terminal kemarin sebelum aku sampai ke hotel ini. yah… mereka adalah pedagang asongan yang kemarin airnya kubeli di atas bus yang kutumpangi bersama teman-teman. Yang aku heran adalah mengapa mereka tahu kalau aku disini dan untuk apa mereka menemuiku?
          Dengan penuh keheranan, aku menghampiri mereka. Melihatku berjalan ke arah mereka, spontan salah satu diantara mereka mengambil tanganku dan bersalaman.
“Eh mbak, maaf aku dan teman-teman ganggu waktunya mbak, Aku Rio pedagang asongan kemarin. Aku dan teman-teman datang kemari buat ngasih kembaliannya mbak. Waktu mau nukar uangnya mbak kemarin, aku nukernya terlalu jauh. Tiba di tempat parkir bus, bus yang mbak tumpangin udah nggak ada. Tapi untungnya yang nyupir bus itu pa’deku, jadi aku tahu mbak ada di hotel ini. ini uangnya mbak” jelasnya dengan nada mendok khas jogja yang terdengar begitu santun sambil menyerahkan uang sepuluh ribuan dan beberapa uang seribuan. Aku sungguh tak dapat berkata. Ini pengalaman pertamaku dengan suasana yang seperti ini.
“Astagfirullah,.. Ngapain repot-repot sayang. Kakak nunu udah ikhlasin kok buat kalian. Lagian kakak sudah lupa kalau kakak belum ngambil kembaliannya. Hehe” jawabku sambil memegang tangan Rio
“Tapi mbak, jangan… ini terlalu banyak. Air mineralnya mbak Cuma 3000 rupiah, la uangnya mbak kegedean to mbak” tolaknya
“ia mbak jangan, kami nggak minta-minta, kami jual asongan. Nggak baik kalau kami ngutang” lanjut salah satu teman Rio dengan nada polos.
Sungguh aku tak mampu berkata. Hari itu saat perjalanan menuju hotel, memang aku sempat sedikit kesal saat bus yang kutumpangi berlaju tanpa kusadari. Di separuh perjalanan baru aku menyadari kalau ternyata aku lupa ngambil uang kembalian air mineral yang aku beli dari anak-anak penjual asongan yang kompak berdiri di hadapanku dan menawarkan dagangan mereka yang tidak seberapa. Hanya ada air mineral, permen dan beberapa bungus tissue di tas asongan mereka. Tapi rasa lelah menempuh perjalanan yang panjang dari Makassar ke Jakarta lalu lanjut ke Jogjakarta membuatku memutuskan untuk mengikhlaskannya dan melupakannya. Tapi kemarin aku merasa kalah dengan mereka yang mendatangiku hanya untuk mengembalikan uang yang menurut mereka adalah hakku. Berulang kali aku berusaha memberikan uang itu kepada mereka, tapi mereka malah nolak dan justru memohon padaku agar menerima kembalian itu.
Karena rasa bahagia yang teramat besar dalam dadaku, aku mencari cara agar aku bisa memberi mereka sesuatu tanpa harus membuat mereka merasa diberi.
“oya kalian kan orang sini, nah kakak dari Makassar. Nama kakak, Nurul ifadah. Kalian boleh panggil kakak, kakak nunu atau mbak nunu. Kakak di sini nggak lama, 2 hari kedepan kakak udah harus balik ke Makassar. besok siang sekitar jam 1 siang, kalian mau nggak bantuin kakak jalan-jalan disini? Maksudnya kakak, Rio dan teman-teman jadi pemandu wisata buat kakak. kakak belum hafal soalnya jalan ke Malioboro dari sini. heehe Daripada kakak nunu nyewa pemandu wisata yang nggak kakak kenal, mending kalian aja gimana? Ngasong g besok?” tanyaku dengan senyuman bahagia.
Mereka tampak gembira saling berpandangan dengan spontan mereka menjawab “Nggak mbak”, “Kami nggak ngasong. Iya iya besok jam satu aku, Rio dan Surna kesini lagi. Ok mbak.” Jawab salah satu dari mereka dengan muka sumringah.
“ok” jawabku.
“oya mbak nunu, kami harus pulang dulu ya mbak sampai ketemu besok” pamit mereka
“Eh tunggu dulu, ini uang yang kalian bawa tadi ambil aja, buat ongkos.” Bujukku
“ah nggak usah mbak, kami kesini diantar pakdeku.” Tolak Rio dengan senyumnya yang manis.
Aku melepas mereka dengan senyuman termanis. Bagiku mereka manusia luar biasa. anak-anak pedagang asongan yang memiliki hati yang tulus dan bening. Tuhan telah mempertemukanku dengan manusia sederhana yang luar biasa hari ini. Dalam lailku semalam, ku bersujud dan bersyukur pada Tuhan atas segala kebahagiaan yang Tuhan berikan hari ini padaku. Tak lupa juga ku sebut nama mereka yang baru saja datang menemuiku di hotel mewah ini.
          Keesokan harinya, ternyata mereka menepati janji. Mereka datang dengan paras yang begitu bersemangat. Ku ambil ranselku lalu ku berjalan bersama mereka menyusuri jalan kota gudek ini. Kami berpegangan tangan menuju dan berkeliling di malioboro. Aku meminta mereka memilih barang yang mereka sukai sebagai kenang-kenangan dariku. Mereka terlihat begitu senang, tak hentinya mereka mengucapkan terima kasih padaku. melihat mereka tersenyum dan mendengar tawa mereka justru membuatku jaaaauuuuh lebih senang dari yang mereka rasakan. Aku merasa begitu manyayangi mereka. aku jatuh sayang pada ketiga anak kecil ini. sangat sayang. Begitu banyak hal yang kami lakukan, mulai dari jalan, muter-muter di malioboro, makan di lesehan, ngemil ditaman dan duduk di tepian jalan mendengar cerita, canda dan tawa mereka. hari ini aku merasa hidup. Mereka mengajarkanku banyak hal. aku juga sempat bertanya mengapa mereka mau datang hari ini.
Kalimat singkat membuatku mengangguk dan tersenyum “Rio dan teman-teman kan udah janji ma mbak nunu, ya harus ditepati to mbak” jawab Rio nyeletus.
Rasanya masih ingin bersama anak-anak hebat ini, ponselku berdering dan seorang pendamping mengabarkanku bahwa aku lolos ke babak final malam ini. hatiku begitu senang, aku mengajak Rio, Agil dan Surna kembali ke Hotel. Hari juga sudah semakin senja. Setibanya di hotel begitu banyak orang datang dan menjabat tanganku. Kulihat wajah heran ketiga bocah ini, namun aku tetap menggandeng tangan mereka memasuki kamarku. Di kamar ini kuizinkan mereka tidur, berbaring, nonton dan bermain dengan notebookku. Mereka rasanya seperti adik kandungku sendiri. Aku meminta mereka menjadi supporter istimewa yang akan duduk di kursi paling depan saat aku presentasi di babak final. Aku begitu bersemangat melakukan persiapan yang hanya tinggal beberapa jam lagi untuk tampil di babak terakhir ini.
          Waktunyapun tiba, aku menggunakan pakaian lengkap dan siap untuk bertempur menjadi terbaik se-Indonesia. Kulihat wajah heran Rio, Agil dan Surna. tapi aku Cuma tersenyum pada mereka. Nafasku berpadu dengan lantunan dzikir di hatiku. Ku pasrahkan semuanya pada penilaian dan segala hal yang terbaik dari Tuhan yang seharian ini memberiku kebahagiaan tiada tara. Waktu demi waktu terus berjalan, aku tampil dengan maksimal di hadapan audiens dan para juri yang terlihat begitu berwibawa. Ketiga sahabat baruku itu terlihat melompat girang dan bertepuk tangan setelah presentasiku dan langsung menyambut tanganku dan menciumnya.
          Setelah semua peserta di babak final ini selesai melakukan presentasi, tiba giliran pengumuman hasil perjuangan kami. Aku tak berharap apa-apa dari perjuangan ini. bagiku aku telah memenangkan kompetisi ini dengan menyelesaikan setiap babak dengan usaha yang maksimal. Bagiku pengalaman dan peningkatan kualitas diri sendiri adalah hal yang terpenting. Juara berapapun aku terima. Walau telah pasrah, aku tetap saja deg-degan. Mulai dari harapan 3 sampai juara 3, namaku belum juga disebut, aku sudah tidak berharap lagi. Terlalu tinggi rasanya aku harus berharap berada di posisi yang kedua apalagi pertama. Aku melihat begitu banyak manusia berkualitas lainnya yang juga ikut bertempur bersamaku menjadi juara di kompetisi bergensi ini. Tapi saat itu ada hal yang membuatku nyaris pingsan. Saat seorang dewan juri meneriakkan namaku sebagai pemenang pertama sekaligus pemenang umum dalam rangkaian kompetisi ini. Tiga sahabat baruku langsung melompat dan memelukku. Rombongan Selebes yang bersamaku melangkah sampai ke tanah Jawa ini seketika menyerangku dengan pelukan. Aku sesak oleh begitu banyak kebahagiaan.
          Di hadapan sahabat baruku itu, aku naik ke panggung dan menerima hadiah sebagai seorang pemenang. Ku sebut nama mereka satu persatu dengan lelehan air mata kebahagiaan. Setelah prosesi itu, mereka bertiga pamit pulang padaku. kupeluk mereka begitu erat, ribuan terima kasih kupanjatkan pada mereka. Aku menyayangi mereka dan rasanya aku tak ingin berpisah dengan mereka bertiga. Ku minta mereka menunggu sejenak di dalam kamar lalu ku keluar kamar mengambil sesuatu. Yah.. sesuatu yang akan kupersembahkan buat mereka. kuserahkan tiga buah amplop kepada mereka. kuisi sesuatu yang jumlahnya sama banyak di dalam amplop itu, buat kuberikan kepada mereka.
Amplop pertama ku tulis “Honor Pemandu Wisata Jogya”
Amplop kedua ku tulis “Honor Supporter kelas VIP”
Amplop ketiga ku tulis “Oleh-oleh khas Jogya”
Mereka sempat menolak saat kuberikan ketiga amplop tersebut. Air mataku menetes menatap mereka, kemudian aku memeluk dan mencium mereka satu persatu. Kukatakan pada mereka bahwa amplop ini, tidak kakak berikan secara Cuma-Cuma karena kalian telah menjual jasa kalian buat kakak. sama seperti kalian menjual sebotol air mineral pada kakak kemarin.
Kalian telah menjadi pemandu yang sangat baik. Dengan atau tanpa kalian, kakak tetap akan mengeluarkan amplop ini buat orang lain. tapi karena kalian yang menjadi pemandu buat kakak, makanya amplop ini adalah hak kalian.
Kalian telah bersedia menjadi supporter buat kakak di presentasi tadi. Juara ataupun tidak hari ini, amplop ini sudah kakak niatkan untuk dibagi. Tapi karena kalian bertiga bersedia menjadi supporter buat kakak, yah ini buat kalian dan ini adalah hak kalian.
Nah,.. amplop yang satunya lagi adalah amplop yang kakak sediakan untuk membeli oleh-oleh buat dibawa kembali ke Makassar, tapi bagi kakak, oleh-oleh terbaik dan termahal untuk kakak bawa pulang adalah cerita tentang kisah bersama kalian kemarin dan hari ini. kalian telah membuat kakak mengerti tentang kejujuran. Kebersamaan kakak nunu dengan kalian adalah oleh-oleh terindah dalam hidup kakak. kejujuran kalian adalah gudeg terlezat yang pernah kakak santap. Kakak senang mengenal kalian.
Akhirnya mereka tersenyum dan bersedia menerima ketiga amplop itu sambil mengucapkan terima kasih yang diucapkannya berulang-ulang nyaris tiada henti. sampai aku menulis kisahku ini, air mataku masih meleleh mengenang mereka yang begitu Luar biasa. sungguh langka momentum ini. singkat, bermakna dan begitu berharga.  
Kejujuran sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi barang langka dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten tidaklah sulit. Tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang berbenturan dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap memegangnya, atau kita biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah kejujuran yang sangat menyentuh hati. Itulah kisahku di tanah jawa saat menyantap gudeg terlezat dunia dan akhirat.

Aku terhenyak dan kembali ke kamar setelah mengantar mereka sampai ke depan hotel dengan seribu perasaan bahagia. Tuhan, hari ini hamba belajar dari tiga manusia super dan luar biasa yang Engkau hadirkan hari ini, kekuatan kepribadian mereka membuatku terenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta dengan berdagang asongan dan menjajakkannya dari bus ke bus dan dari orang ke orang di area terminal.

Tiga anak kecil yang bahkan belum baligh, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil.


-Nurul ifadah-
Kenali aku lewat setiap karyaku dan berkunjunglah di setiap ruang hidupku karena 24 jam ku buka itu untuk setiap jiwa yang ikhlas untuk terus berjalan, belajar dan berkarya


  

5 komentar:

  1. banyak kisah yang mungkin serupa di tempat yang berbeda. intinya adalah semua yang dari hati akan sampai ke hati. mkasih dan nyempatin baca. semoga bermanfaat :)

    BalasHapus
  2. Hm,, ana sama sekali tidak peduli ini kisah nyata ataupun fiksi. Yang jelas perjalanan bait demi bait meninggalkan jejak yang begitu dalam memasuki qalbu.
    Salam hangat dan semangat selalu by Pembelajar Sepanjang Zaman

    BalasHapus
  3. Amin Allahumma Amin,
    hanya pengalaman sederhana yang dikemas sebaik mungkin untuk menggugah semangat untuk terus berbuat baik. Makasih mas, Salam sukses untuk tetep berjalan, belajar dan berkarya :)

    BalasHapus